Jakarta - "Benarkan anak muda saat ini sedang bergerak ke kanan?" Pertanyaan ini menjadi kegelisahan bersama, setidaknya diwakili oleh Sakdiyah Ma'ruf, seorang komika yang menjadi speaker di salah sesi diskusi Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2019.
Diselenggarakan di Jakarta, 1-4 Oktober lalu, AICIS 2019 mengambil tema Digital Islam, Education and Youth: Changing Landscape of Indonesian Islam. Era teknologi dan komunikasi digital saat ini, yang sering disebut dengan era disrupsi, dianggap akan mengubah lanskap keberagamaan Islam di Indonesia, dan tentu saja anak muda sebagai katalisatornya.
Sedang Menjamur
Pola hijrah yang menawarkan proses keberagamaan baru, dengan berbagai atributnya menjadi tantangan bagi pola keberagamaan status quo, yang tentu saja akan menggeser otoritas beragama generasi "tua". Perkembangan media sosial setidaknya memfasilitasi fenomena ini: orang bisa belajar pada siapa saja yang dianggap mempunyai kapasitas agama yang memadai.
Ada pergeseran patronase agama, dari para kiai-ulama yang tentu saja mempunyai keterbatasan dalam ritual dan interaksi agama, beralih kepada figur entertain agama, yang mampu menyuguhkan "agama" dalam ruang publik digital hampir tanpa batas ruang dan waktu. Anak muda akan merasa "nyaman" dengan kecenderungan ini; mendapatkan agama melalui hal yang terdekat dengan mereka, yakni gawai dan ponsel pintar.
Mengapa fenomena ini dikhawatirkan? Bukankah "kanan" itu bagus --daripada "kiri"? Lanskap keberagamaan di Indonesia, tentu saja selalu mengalami dinamika perubahan. Hanya saja pola pergerakan ke "kanan" ini disinyalir mendekat ke arah radikalisme-ekstremisme. Kementerian Agama yang sejak awal selalu mengkampanyekan Islam moderat (washatiyah) akhirnya ikut mengkhawatirkan gejala ini.
Beberapa kasus anak muda yang "terjebak" pada aksi ekstremisme bahkan terorisme tentu menjadi ujung pangkal kekhawatiran ini. Pada kasus ISIS beberapa tahun lalu misalnya, banyak anak muda yang menjadi korban rekrutmen di Timur Tengah, beberapa hanya melalui media sosial.
Mencari Pola
Pola beragama secara instan melalui perangkat digital kiranya memang cukup menjadi kegelisahan kita, meskipun pada tingkat tertentu juga sangat berlebihan. Namun mengupayakan sebuah format lain yang lebih moderat dan toleran tentu menjadi ikhtiar bagi para akademisi kajian agama.
Anak muda kita saat ini sedang mencari pola, format, langgam keberagamaan yang dirasa relevan dengan dunia dan generasi mereka. Kita tentu saja tidak bisa secara serta merta memaksakan format yang selama ini kita pakai, karena zaman sudah berganti.
Salah satu dimensi agama yang paling vital kiranya adalah spiritualitas. Spiritualitas adalah pengalaman rasa dan hati, yang setiap orang tentu saja mempunyai passion tersendiri. Tidak bijak kiranya memaksakan dunia kita kepada dunia mereka. Boleh jadi mereka bisa menikmati "lezatnya agama" melalui format mereka sendiri, dan tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang paling subjektif.
Sudah selayaknya kita mengikuti arus mereka, sembari memberi pegangan, jangkar, dan haluan dalam menelusuri kehidupan. Yang perlu kita upgrade sebenarnya adalah cara berpikir dan metode "dakwah" kita kepada mereka. Barangkali metode kita selama ini masih sangat konvensional, sehingga sulit untuk menyentuh ruang spiritual mereka. Atau kita yang selama ini lebih acuh dan abai, asyik dan khusuk dengan kesalehan kita masing-masing.
Anak-anak kita, separuh sahamnya sebenarnya adalah milik zaman. Kita tidak bisa memaksakan sepenuhnya. Maka, tidak perlu lagi mengkhawatirkan masa depan (agama) mereka; mereka akan bergerak menciptakan zamannya. Dan bukankah Tuhan akan senantiasa menjaga agama-Nya?
Muhamad Mustaqim dosen IAIN Kudus, peserta AICIS 2019
Posting Komentar